Pura Pasimpenan Baturaya, Desa Tumbu Kelod, Karangasem


Lama Terkubur Kini Bangkit Kembali

Berdirinya Pura Pasimpenan Baturaya ini berawal dari berbagai keunikan. Bahkan pura ini disebut-sebut telah lama terkubur, namun atas petunjuk niskala Ida Sasuhunan bangkit kembali. Ternyata ada hubungan dekat secara niskala dengan Kahyangan Jagat Kancing Gumi di Batu Lantang, Sulangai, Petang, Badung. Berikut ulasannya.

Reporter : Ida Ayu Made Sadnyari & Puspa


Berbagai kegaiban terjadi mengiringi proses pendirian Pura Pasimpenan Baturaya. Bahkan sebelum pura ini berdiri, isyarat gaib tak henti bermunculan lewat keganjilan yang ada. Bagaimana latar belakang pendirian pura yang berada di Desa Tumbu Kelod, Karangasem yang kini menjadi penangkilan seluruh umat ini?


Diungkapkan oleh Nyoman Sudana Intaran selaku manggala karya pura Pasimpenan Baturaya, sebelum pura didirikan tahun 2006 lalu, ia mendapat informasi dari Pasek Suardika, SH (Pimpinan Umum Tabloid Bali Aga) yang sebelumnya pemilik lahan pura menemukan di internet terdapat Prasati Tumbu dengan tahun Saka 1247 (1325 M). Pada prasasti ini disebutkan di Desa Tumbu terdapat Pura Pasimpenan. Ini ditemukan dengan tidak sengaja, dan anehnya setelah ditelusuri lebih jauh informasi ini lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bekas.

Hal ini juga didukung Jro Mangku Tapakan Antiga berdasarkan teropong niskala yang dilakukannya dan menemukan bahwa memang sebelumnya terdapat pura di sana. Ditambah lagi dengan berbagai keganjilan yang sering dialami oleh Nyoman Sudana sebagai warga yang memiliki merajan di sebelah tanah kosong yang dulunya hijau dengan tanaman pandan berduri.

“Setiap ada upacara di sanggah tiang di sebelah tanah Pak Pasek ini, tiang selalu menyaksikan api sebesar kelapa jatuh dari atas ke tanahnya Pak Pasek. Dan kejadian ini selalu di atas jam 12 malam. Sebelumnya ini selalu menjadi tanda tanya apa sebenarnya yang terjadi,” jelas Sudana.

Tanpa sebab yang jelas ia pernah mendapati cincinnya jatuh, dan entah kenapa ketika dicari ditemukan di depan padma yang ada di tanah sebelah merajannya. Tak hentinya keganjilan datang seakan ingin menyadarkan Pura Pasimpenan Baturaya sudah lama terkubur dalam ingatan dan kini Ida Sesuhunan akan bangkit lagi.

“Keganjilan yang tiang alami saat mendapat tugas mengantar bendesa ke Pura Kancing Gumi yang sebelumnya tiang tidak pernah datangi. Namun saya menolak tugas tersebut dan berkata ‘Semua sekarang membuat pura untuk mendapatkan dana’. Hingga tiba waktunya sebelum hari H, malamnya saya bermimpi dan membuat saya ikut ke Kancing Gumi,” ungkapnya.

Dalam mimpi tersebut ia merasa berada pada sebuah pura, dan di utama mandala pura terdapat tiga buah gedong dengan keunikannya masing-masing. Pada gedong pertama dilihat api besar berkobar dengan keadaan gedong di atasnya tertutup. Anehnya api tersebut tidak membakar gedong.

Pada gedong kedua dilihat mengeluarkan air yang sangat jernih. Air tersebut ditampung oleh sebuah kolam yang ada di depan gedong. Dan pada gedong ketiga ia mendengar suara seperti orang sedang mengobati pasien yang merintih kesakitan. “Dalam mimpi tersebut saya berfikir, kenapa ada orang mengobati tetapi tidak terlihat wajahnya. Yang terdengar hanya suara laki-laki yang kesakitan, dan suara wanita yang mengobati. Setelah pikiran itu berlalu kemudian nak istri dalam gedong tersebut berbicara ‘Ning, buin kutus dina mai nyen’. Saya berfikir besoknya akan ke pura mengantar bendesa. Apakah arti mimpi ini ada kaitannya.” tuturnya.

Sebelum memutuskan untuk ikut ke Pura Kancing Gumi, ia menelpon adiknya dan sungguh heran karena adiknya menangis mendengar mimpi tersebut. Menurutnya adik nya tersebut juga bermimpi kakaknya nangkil ke Pura Kancing Gumi. Bahkan nama orang-orang yang akan ikut ke pura tersebut disebutkan dengan jelas, padahal sebelumnya adiknya tidak tahu bahkan tidak kenal. Dari kejadian tersebut membuat Sudana semakin yakin untuk nangkil ke Pura Kancing Gumi.

Sungguh hal yang tidak terduga karena apa yang ia lihat dalam mimpi memang ada di Pura Kancing Gumi ini. Hanya saja ia tidak melihat kolam pada salah satu gedong. Delapan hari kemudian ia kembali datang ke Pura Kancing Gumi sesuai dengan perintah yang ia dengar dalam mimpinya. Di situlah ia meminta agar di pura ini dibuatkan kolam seperti apa yang ia lihat dalam mimpi. Namun dari pihak pura menolak karena menurut mereka, di Pura Kancing Gumi memang sudah terdapat kolam. Akhirnya ia ditunjukkan dan kaget karena sebelumnya ia tidak melihat kolam tersebut.

“Ada pawisik agar nangkil ke Griya Cau Belayu untuk membuat Tapakan Ratu Gede, Barong dan Rangda. Dan pasupatinya harus dimintakan di Pura Kancing Gumi,” ungkapnya. Setelah mencari hari baik tibalah waktunya masupati. Dalam suasana pasupati, pura diliputi aura magis yang menggetarkan. Muncul cahaya laksana bulan sebesar bungsil kelapa dan ngincegin Ratu Mas. Kejadian tersebut seakan sebagai tanda bahwa ini mendapat berkat dari Ida Sesuhunan. Ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara Pura Kancing Gumi dan Pura Pasimpenan Baturaya. Meski secara geografis, letak kedua pura sangat jauh berada pada batas wilayah yang berbeda.

Tapakan Ratu Mas Alit Sakti inilah yang berstana di Pura Pasimpenan Baturaya. Anehnya setiap pujawali, Tapakan Ratu Mas Alit Sakti selalu tiba lebih dahulu di Pura Kancing Gumi. “Untuk semakin meyakinkan diri akhirnya kembali ada bawos bahwa Sasuhunan Pura Kancing Gumi malinggih ring Pura Pasimpenan Baturaya,” jelasnya. Enam bulan kemudian sejak Tapakan Ratu Mas Alit Sakti malinggih ring Pura Pasimpenan Baturaya mulailah membuka pintu pasimpenan.

Setiap pujawali di Pura Kancing Gumi, Tapakan Ratu Mas Alit Sakti selalu rauh. Anehnya sebelum Ida Sesuhunan ini tiba di Pura Kancing Gumi maka upacara di pura belum berjalan. Selalu ada keganjilan dan kekurangan yang menyebabkan pelaksanaan pujawali tertunda. Namun setelah Ida Sasuhunan rauh, barulah upacara berjalan lancar. Secara sekala Ida Sasuhunan Pura Pasimpenan Baturaya merupakan pemegang kunci gedong yang ada di Pura Kancing Gumi. Sehingga sebelum pemegang kunci datang untuk membukakan gembok maka gedong tidak akan terbuka. Ini berarti bahwa upacara baru bisa berlangsung setelah Ida Sasuhunan Pura Pasimpenan Baturaya tiba di Pura Kancing Gumi. Dari kejadian ini bisa digambarkan betapa erat kaitan kedua pura tersebut.

Memang bukan hal yang mudah untuk meyakini suatu kebenaran yang telah lama terpendam. Namun pendirian pura bukanlah hal yang main-main, dan berbagai isyarat bahkan paica bawos dari Ida Sesuhunan menunjukkan cihna bahwa Beliau memang ada dan berstana di Pura Pasimpenan Baturaya ini.

Berlanjut setelah Ida Sasuhunan malinggih di sini, berbagai kegaiban masih terus terjadi. Memang pemandangan yang unik karena di madya mandala pura bisa disaksikan terdapat patung Budha yang cukup besar dengan posisi tidur. “Ida Sasuhunan meminta agar ada Budha di sini. Uniknya lagi di utama mandala terdapat sebuah lingga yang diapit oleh patung Budha yang tertutup di sebelah kirinya dan Candi Hindu Jawa di sebelah kanannya. Dalam perkembangan pembangunan pura pun mengalami suatu perubahan. “Awalnya hanya berencana membangun pura kecil. Tetapi karena perkembangan yang ada, Pura ini diakui oleh desa lain dan setelah kedatangan Ida Pedanda Diksa Singarsa dari Griya Gede Babakan, Cau Belayu dan mengatakan bahwa Ida melihat ada palinggih marong tiga seperti di Pura Kancing Gumi. Kemudian diperluas lagi hingga jadilah seperti apa yang ada saat ini,” jelas Sudana.

Tidak berhenti sampai di situ, lagi-lagi pawisik menjadi suatu tuntunan dalam menetapkan langkah yang harus diambil selanjutnya. “Tiang kembali bermimpi, sebuah patung di Pura Kancing Gumi. Patung itu persis seperti yang ada di Pura Semeru. Untuk meyakinkan kemudian matur apakah mimpi itu benar disaksikan oleh beberapa tokoh Pura Kancing Gumi. Ternyata memang benar di Pura Kancing Gumi harus terdapat patung seperti apa yang saya impikan,” jelasnya.

Namun bukan hal yang mudah untuk menggambarkan patung apa yang ia lihat dalam mimpi tersebut. Sehingga proses untuk membuat patung itu cukup lama. Berbagai upaya ditempuh. “Sampai-sampai saya diperlihatkan ratusan contoh foto patung dan disuruh memilih. Namun satupun tidak ada yang sesuai seperti yang saya lihat dalam mimpi. Menggambarkannya saya tidak bisa,” ungkap Sudana.

Anehnya teka-teki patung itupun terjawab. Dengan kedatangan seorang tapakan Kahyangan Tiga dan mencoba menggambarkan patung tersebut. Sudana merasa kaget karena memang benar, itulah patung yang ia maksudkan. Sebuah patung yang berwujud perempuan yang tak lain adalah Saktinya Dewa Wisnu memegang kendi tempat tirta. Akhirnya patung itu kini ada di Pura Kancing Gumi

Pura Peninjoan, Menyali, Buleleng


Pengibaran Bendera Merah Putih Warisan Gajah Mada

Kalau upacara pengibaran bendara Meraj Putih di alun-laun atau lapangan umum, adalah wajar dan sudah biasa dilakukan bila ada upacara nasional. Tapi, kalau upacara pengibaran bendara Merah Putih dilakukan di sebuah kahyangan, adalah unik dan langka di Bali serta di Indonesia umumnya. Itulah yang terjadi di Pura Peninjaoan, Menyali, Buleleng.

Reporter : Gede Suardana

Raihan menakjubkan terjadi di Pura Peninjoan, Desa Menyali. Bendera Merah Putih
yang diyakini warisan Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit dikibarkan di
jeroan Pura Peninjoan. Pengibaran bendera sakral ini dilakukan oleh ribuan krama Menyali di Pura
Peninjoan pada hari Minggu sore (14/9/2008). Pengibaran bendera ini tampak unik dan sakral karena peserta upacaranya menggunakan pakaian bersembahyang. Upacaranya pun mirip dengan pengibaran bendera layaknya peringatan HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus-an. Bendera dikibarkan oleh tiga orang pemuda-pemudi desa yang juga berseragam sembayang.

Sedangkan puluhan siswa-siswa berdiri di jaba pura yang bertugas sebagai regu
penyanyi. Pengibaran bendera sakral ini tidak diiringi kidung melainkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Suasana yang dirasakan krama pun sangat menakjubkan. Rasa bangga, semangat
kemerdekaan bercampur suasana spiritual menyelimuti pada krama yang menghadiri
upacara pengibaran bendera ini. Usai pengibaran bendera, tiba-tiba seorang jero pemangku istri kerauhan.
Diyakini, ia sebagai Mahapatih Gajah Mada yang menyaksikan secara langsung
upacara pengibaran bendera ini di Pura yang berdiri di lahan seluas sekitar 2
are. Saat kerauhan, sosok Gajah Mada meminta sebatang rokok serta menegak minuman arak
sebagai pertanda ia hadir menyaksikan upacara ini. "Kulo iki datang ke sini meyaksikan upacara," kata Gajah Mada dengan berbahasa dan logat Jawa. Berulang kali, Gajah Mada memekikkan kata-kata Merdeka. Ribuan umat pun menyambutnya dengan pekik merdeka. "Merdeka, merdeka, merdeka," pekik ribuan umat. Gajah Mada juga meminta umat untuk kembali menyanyikan lagu-lagu perjuangan,seperti lagu Merah Putih berbahasa Bali ciptaan Darna serta lagu perjuangan
lainnya, yaitu Berkibarlah Benderaku.

Tak berselang lama, seorang jero mangku istri juga kerauhan. Jero mangku istri
yang dalam kerauhannya menggunakan bahasa Cina diyakini sebagai Dewi Kwan In. Sang Dewi pun menyatakan gembira dengan upacara pengibaran bendera tersebut. Dewi Kwan In menari-nari menuju tugu pura. Di depan tugu, Dewi Kwan In meminta agar tugu utama Pura Peninjoan dibungkus dengan kain Merah Putih.


Sabda Mahapatih Gajah Mada


Pengibaran bendera Merah Putih di Pura Peninjoan yang berusia sangat tua ini
memiliki sejarah spiritual yang sangat tinggi. Bendera Merah Putih ini ditancapkan di pura tua ini setelah melalui proses pencarian yang sangat lama. Pencarian Pura Peninjoan dilakukan langsung oleh Mahapatih Gajah Mada secara niskala.

"Ha ..ha...saya senang sekali di Menyali. Dari dulu sudah ada sabdha untuk bawa bendera ke sini. Dari dulu cari Pura Peninjauan (Peninjoan, red). Kulo cari ke sana ke mari namanya Puro Peninjauan. Kulo tinggal di Bali sudah suruh antar
bendera ke sini. Sekarang sampe bendera ke sini. Dulu kulo ga tau (di mana letak
Pura Peninjoan)." Demikian petikan petuah yang diberikan oleh Mahapatih Gajah
Mada melalui Jero Mangku Istri. Pulau-pulau Nusantara dipantau dariPura Peninjoan.

Pura Peninjoan yang memiliki ukiran khas pura-pura tua di Bulelelng yang
terletak di belahan Bali Utara. Pura tua ini memiliki sejarah penting dalam sejarah Majahapit hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sabdha yang disampaikan Mahapatih Gajah Mada Pura Peninjoan dahulu kala adalah sebuah bukit tinggi yang disebut Bukit Peninjauan.

"Dulu ini bukit
Peninjauan," pekik Mahapatih Gajah Mada.

Mahapatih Gajah Mada menceritakan saat menginjakkan kaki di pulau dewata ini
dirinya dapat melihat pulau-pulau yang tersebar di Nusantara dari bukit ini.
"Dari sini meninjauan pulau-pulau. Makanya di sini ditaruh bendera," kata Mahapatih Gajah Mada.
Kedatangan Mahapatih Gajah Mada di upacara bendera ini tidak disia-siakan
umat Hindu di Desa Menyali. Mereka pun ingin mengetahui makna dari bendera Merah
Putih sakral tersebut.

Mahapatih Gajah Mada menguraikan, bendera Merah Putih memiliki makna penting bagi Bali dan Indonesia. "Ini namanya (bendera Merah Putih) sebagai
persatuan Umat Hindu. Persatuan umat bangsa Indonesia," kata Gajah Mada. Gajah Mada pun berpesan agar piodalan pengibaran bendera Merah Putih dilakukan dalam waktu lama sehingga seluruh pemedek Umat Hindu di Bali mengetahuinya serta dapat tangkil di Pura Peninjoan. "Sekarang supaya tahu ada bendera. Terus pemedek akeh. Yang jauh-jauh tahu di sini," pesannya.

Warga yang Tidak Yakin Sakit Kepala

Pengibaran bendera Merah Putih warisan Kerajaan Majapahit di Pura Peninjoan,
Menyali tidak berjalan dengan mulus. Terjadi pro kontra di kalangan krama di
Menyali untuk mengibarkan bendera sakral ini. Pro kontra di kalangan krama, baik yang setuju dan tidak setuju mengibarkan bendera di jeroan Pura Peninjoan yang sempat mewarnai proses ini juga dituturkan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini terjadi karena belum semua krama meyakini bahwa
bendera tersebut adalah warisan dari Kerajaan Majapahit.

"Ada orang tidak yakin biarin saja. Dulu ada orang tak percaya. Ngapain taruh
bendera di pura. Tak benar itu. Orang laki ini (yang menentang). Ada umat di sini menentang nanti kepalanya terus saja sakit," kata Gajah Mada. Pengibaran bendera Merah Putih di tempat asalnya ini diyakini akan memberikan berkah bagi krama Desa Menyali yang sebagian kramanya masih hidup tak berkecukupan. Keyakinan itu diberikan langsung oleh Gajah Mada. Ia mengatakan
bahwa Desa Menyali akan tumbuh subur.

"Buktikan nanti makmur di sini. Subur di
sini," kata Gajah Mada disambut pekik merdeka oleh krama yang memenuhi jeroan
hingga ke jabaan pura.

Gajah Mada dan Ki Barak Panji Sakti berstana di Pura Peninjoan. Pura Peninjoan terletak di Desa Menyali yang lokasinya sekitar 15 km arah timur Singaraja. Pura yang memiliki ukiran khas seperti pura-pura tua di Bulelelng berdiri di areal yang luasnya sekitar dua are.

Di samping pura inti, terdapat pohon tua berukuran raksasa yang berdiri tegak. Warga Menyali meyakini sebelum
memasuki desanya atau krama yang bekerja di perantauan setiap pulang ke desa
selalu menyempatkan diri bersembahyang di Pura Peninjoan. Namun kini Pura Peninjoan memiliki arti penting secara spiritual tidak hanya bagi warga penyungsungnya di Menyali, melainkan seluruh krama Bali.

Ida Prabu Gede, yang mendapat pawisik dari Gajah Mada untuk mengibarkan Bendera
Merah Putih di Pura Peninjoan mengatakan, pura ini sekarang tidak lagi hanya merupakan pura khayangan tiga melainkan telah menjadi Pura Sad Kahayanga. Ida Prabu menambahkan Mahapatih Gajah Mada dan Raja Bulelelng Ki Barak Panji Sakti berstana di Pura Peninjoan.

"Sekarang seluruh masyarakat Bali akan bersembahyang ke Pura Peninjoan ini," katanya.
Ida Prabu meminta agar masyarakat Menyali dengan tulus ikhlas menghaturkan
yadnya di pura ini. "Ketulusan saat menghaturkan yadnya kepada Sang Hyang Widhi
Wasa akan memberikan berkah kepada umat Hindu," tuturnya.

Puri Surya Majapahit, Bantang Banua, Sukasada, Buleleng

Pemersatu Keturunan Majapahit

Setelah Puri Surya Majapahit berhasil diwujudkan di Puri Gading, Jimbaran, Badung, kini situs Majapahit kembali bisa diwujudkan di Buleleng. Pembangunan tempat ini diwarnai berbagai peristiwa niskala, hingga munculnya mata air suci (tirta pasupati) yang berfungsi sebagai pemersatu dan pemahayu jagat. Apakah ini pertanda awal kebangkitan leluhur Majapahit di Bali umumnya dan Buleleng khususnya? Inilah liputannya.

Reporter : Andiawan

Bagi sebagian umat Hindu di Bali (di luar Bali Mula) tak bisa dilepaskan dari sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit. Pasalnya, leluhurnya berasal dari Majapahit. Hal itu dibuktikan, dengan adanya palinggih menjangan seluwang di setiap merajannya.

Namun demikian, tak banyak keturunannya yang eling (ingat) akan keberadaan linggih leluhurnya terdahulu, sejak kerajaan Majapahit mengalami keruntuhannya 500 tahun silam. Setelah sekian lama tenggelam, kini ada salah satu keturunannya terpanggil dan tergugah untuk membangkitkan kejayaan Majapahit dengan mendirikan linggih Ida Bhatara Leluhur, berupa candi dan bangunan lainnya. Setelah berbagai situs Majapahit berhasil didirikan di Puri Gading, Jimbaran, Badung, kini Puri Surya Majapahit berhasil didirikan di Buleleng, tepatnya di lingkungan Bantang Banua, Kecamatan Sukasada, Buleleng yang cukup megah.

Kejayaan kerajaan Majapahit telah tersohor di seantero Nusantara. Namun, sejak masa keruntuhannya sekitar 500 tahun silam, sebagian besar keturunannya mulai melupakan keberadaan serta kejayaan kerajaan Majapahit tersebut. Setelah 500 tahun berlalu, kini keberadaan serta kejayaan Majapahit berangsur-angsur muncul dan bangkit di Bali.

Hal itu dibuktikan dengan munculnya situs-situs Majapahit di beberapa daerah di Bali. Setelah berbagai situs kebudayaan didirikan di Puri Gading, Jimbaran, Badung, kini di Bumi Panji Sakti, Buleleng, di atas tanah seluas 5,4 are berhasil dibangun tempat suci berupa candi tumpang sembilan lengkap dengan penangkal petir, gedong, padmasana, patung Ganesha, palinggih Taksu, serta bangunan pelengkap lainnya yang cukup megah.

Pratima Budha dilinggihkan di candi tumpang sembilan, sementara pertima Dewa Siwa, Dewi Indraswari, dan Ganesha dilinggihkan di Gedong. Pembangunan Puri Surya Majapahit ini diwarnai berbagai peristiwa gaib yang di luar nalar manusia. “Tiang mendirikan tempat ini bukan dengan tujuan-tujuan tertentu, melainkan karena tiang terketuk dan terpanggil untuk mengabdi dan memberikan yang terbaik kepada Leluhur Majapahit,” jelas Gusti Latria menegaskan.

Di samping itu, Drs. I Gusti Bagus Latria selalu terngiang dengan kata-kata Beliau (Ida Bhatara Leluhur Majapahit-red) melalui salah seorang Sutri. Di mana Ida Bhatara Leluhur Majapahit menyarankan agar dirinya tidak ragu dan takut mewujudkan tempat suci Beliau. Berdasarkan petunjuk itu, dirinya berusaha mewujudkan tempat itu dengan segala kemampuan yang dimiliki.

“Awalnya sempat ragu mampu mendirikan tempat ini, sebab saat itu tiang hanya memiliki sedikit dana. Tetapi, dengan keyakinan penuh dan berserah kepada Ida Sasuhunan, akhirnya tiang berhasil mewujudkan Linggih Beliau,” ujar Gusti Latria yang dikenal ramah ini. Dengan logat bicaranya yang khas, Gusti Bagus Latria lebih jauh memaparkan, sejarah awal dirinya menerima mandat mendak sekaligus nyungsung Pratima Majapahit hingga akhirnya kini malinggih di Puri Surya Majapahit yang berhasil ia dirikan.

Diceritakan lebih lanjut, tepat tanggal (20/5) 2005, I Gusti Bagus Ketut Latria diberikan mandat (surat kuasa) oleh Sri Brahmaraja Wilatikta XI (Penglingsir Puri Surya Majapahit Pusat di Trowulan) untuk mendak Pretima di Gilimanuk. Malamnya sebelum acara mendak tersebut, dirinya mengadakan acara agnihotra di lantai 3 Rumah Sakit Karya Dharma Husada.

Kemudian, sekitar pukul 04.00 Wita, rombongan berangkat menuju Gilimanuk dengan pengawalan yang cukup ketat dari Polres dan LLAJR Buleleng. Perjalanan rombongan dari Gilimanuk menuju Singaraja, diwarnai berbagai peristiwa gaib. Di mana di sepanjang perjalanan beberapa rombongan kerauhan, terutama saat rombongan melintas di depan Pura Agung Pulaki, dan Pura Labuhan Aji.

Sesampainya di Singaraja, rombongan menuju Pura Jagat Nata. Setelah istirahat sejenak, kemudian dengan pengawalan cukup ketat pula, Gusti Bagus Latria bersama rombongan melanjutkan perjalanan menuju GWK ngelinggihang pretima Indraswari dan Dewi Kwan Im. Sementara, pretima Ganesha dan Budha di linggihkan di lantai 3 Rumah Sakit Karya Dharma Usadha, Buleleng.

Berselang 19 hari kemudian, Bupati Buleleng Drs. Putu Bagiada M.M, meminta untuk sementara sebelum mendapat tempat, agar pretima tersebut dilinggihkan di Museum Buleleng.

Pretima tersebut sempat nyejer selama 6 bulan. Kemudian karena sesuatu dan lain hal, pretima dipindahkan ke Desa Pakraman Kalibukbuk, tepatnya di kawasan Hotel Melka, Lovina, Buleleng.

Di tempat tersebut sempat dibuatkan palinggih, dan Gusti Latria sempat menyumbang material berupa batu untum membuat panyengker. Sangat disayangkan, pretima tidak bertahan lama, sebab lagi-lagi didera berbagai masalah. Masalah tersebut di samping tidak ada yang mengurus, juga pemilik Hotel Melka yang berkewarganegaraan Asing, rupanya tidak menghendaki pretima itu malinggih di sana.

Selanjutnya pada tanggal (6/2) 2008, Badan Otorita Majapahit Buleleng yang terdiri dari 7 yayasan, mengadakan paruman (rapat-red) dan memutuskan untuk melinggihkan pretima tersebut di Jl. Letda Putra tepatnya di lingkungan Bantang Banua, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Tetapi, lagi-lagi ada konflik internal di Badan Otorita Majapahit Buleleng.

Di mana tidak adanya kesepakatan di antara pengurus. Akhirnya pada tanggal (9/3) 2008, Badan Otorita tersebut dibubarkan. Sementara I Gusti Bagus Ketut Latria, dengan dukungan Hyang Suryo Wilatikta, penglingsir Puri Surya Majaphit Pusat, (Trowulan) dan Presiden WHYO DR. Shri I Gst Ngrh Arya Vedakarna M Wedasteraputra Suyasa, S.E, M.Si, memutuskan jalan terus mengemban tugas suci tersebut serta melanjutkan mendirikan Puri Surya Majaphit.

Karena tempat yang telah ada dirasa kurang memadai, akhirnya Gusti Latria memutuskan untuk membebaskan tanah di sebelahnya dengan luas kurang lebih 2,4 are. Sehingga luas keseluruhan lokasi puri tersebut menjadi 5,4 are.

Bangunan yang berhasil didirikan di antaranya di jeroan berupa candi tingkat sembilan dilengkapi penangkal petir, gedong, padmasana lengkap, palinggih taksu. sedangkan di Madya Mandala terdapat palinggih Ganesha dan bangunan pelengkap lainnya. Bangunan yang menghabiskan ratusan juta itu kondisinya cukup megah.

”Walupun tanpa dibantu teman-teman lain, hanya didukung dana seadanya, didasarkan penuh keyakinan tiang jalan terus mewujudkan tempat suci tersebut,” jelas Gusti Latria dengan yakinnya.

Setelah tanggal 19 Juni, pretima tersebut rawuh (datang) langsung dibawa oleh Presiden WHYO DR. Shri I Gst Ngrh Arya Vedakarna M Wedasteraputra Suyasa, S.E, M.Si. Saat itu langsung dilaksanakan serah terima dengan menandatangani surat pernyataan penyerahan demi memperkuat pretima tersebut.

Sebelum tempat suci selesai dibangun, untuk sementara pretima dilinggihkan di salah satu bangunan yang telah dibeli sejak 17 tahun silam dan jarang ditempati. Semenjak puri ini dibangun hampir tak pernah sepi pamedek. Tak sebatas umat Hindu saja yang ngaturang bakti , melainkan umat lain seperti Islam, Budha, dan Kristen, dengan cara dan keyakinannya masing-masing. Itu artinya, Ida Sasuhunan ingin mempersatukan keturunannya.

Petunjuk Gaib Munculnya Tirta Pasupati

Proses pembangunan Puri Surya Majapahit terus diwarnai berbagai peristiwa gaib yang sulit diterima akal sehat. Dengan munculnya Tirta Pasupati diawali berbagai petunjuk gaib lewat pawisik yang diterima keluarga I Gusti Bagus Latria.

Tirta Pasupati muncul pada saat ia melakukan penggalian tanah untuk dasar candi. Pada kedalaman 2,5 meter, tiba-tiba muncul mata air, walaupun debit airnya tidak terlalu besar. Sontak saja buruh yang menggali tanah itu kaget dan ketakutan.

Di samping itu di dalam tanah yang digali terdapat sebuah gua, dengan kondisi lubangnya sangat halus seperti keramik. Malamnya, salah satu keponakan Gusti Latria mendapat petunjuk melalui pawisik, yang intinya agar I Gusti Bagus Latria memperhatikan tirta tersebut. Tak hanya itu Gusti Bagus Latria juga menerima petunjuk, tirta tersebut merupakan tirta pasupati yang berfungsi sebagai pemahayu jagat.

Selanjutnya I Gusti Latria penasaran ingin mengetahui arti dan makna apa sebenarnya kata Pasupati tersebut. Besoknya, secara kebetulan dia menemukan di salah satu media, mengulas tentang arti kata pasupati. Menurutnya, Pasupati itu berarti ‘Saat manunggalnya Dewa Brahma, Wisnu, dan Iswara’.

Hindu mengenal aksara suci Ang, Ung, dan Mang. Selanjutnya menjadi aksara suci AUM, kemudian menjadi OM. Kata OM itulah sebenarnya Pasupati tersebut. Sebagai pemahayu jagat (penentram dan penyejuk alam beserta isinya), menurut Gusti Latria, bagi mereka yang mendapat siratan tirta ini diyakini akan mendapat anugerah keselamatan, perlindungan, ketenangan, dan kedamaian serta terhindar dari bencana alam.

Tiang berharap, dengan munculnya tirta ini, masyarakat Bali dan Buleleng khususnya menjadi sejuk, aman, dan tentram. Sedikit demi sedikit image Bumi Panji Sakti Buleleng yang dikenal berkarakter keras dan panas ini dapat dikikis,” ujar ayah empat orang putra ini ketika ditemui di Puri Surya Majapahit baru-baru ini.

Gusti Latria menyadari, untuk membuat sesuatu yang baik tidak semudah membalikkan tangan, melainkan harus siap dan berani menghadapi berbagai tantangan dan cobaan, baik sekala-maupun niskala. Selama orang tersebut berjalan di atas rel kebenaran pasti akan menemukan jalan yang terbaik.

Pura Luhur Pucak Taman Sari, Penebel


Pancarkan Air Empat Warna

Pura Luhur Pucak Taman Sari, Linggih Ratu Ngurah Mas Meketel, sering dikunjungi orang-orang supranatural untuk melakukan semadhi memohon kedigjayaan dalam bidangnya. Oleh masyarakat sekitarnya diyakini sebagai kahyangan untuk memohon kemakmuran, hasil panen yang baik dan yang paling unik dikenal untuk melukat dengan empat air panas suci, di antaranya Toya emas, Selaka, Tembaga, Besi.

Reporter : Goesrai & IA. Sadnyari

Pura Luhur Pucak Taman Sari yang memiliki aura magis yang sangat kental tepatnya berada di wilayah Banjar Anyar, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Tabanan. Kuatnya aura spiritual yang dipancarkan tak lain karena keberadaan pura yang jauh dari keramaian, berada di tanah tegal yang tinggi rimbun seperti alas, dipagari pohon besar dikelilingi persawahan.

Dari pura ini seluruh daratan selatan tampak nyata apalagi pada waktu malam hari, lampu-lampu berkelap kelip, desiran angin, suara binatang malam membuat suasana pura semakin terasa angker hingga membuat bulu kuduk berdiri. Tidak salah kalau pura ini sering dikunjungi untuk melakukan tapa semadhi, karena di sinilah bagi mereka yang teguh pada pendiriannya untuk melakukan brata akan mencapai ketenangan.

Setelah ditelusuri ternyata Pura Luhur ini diempon oleh keturunan Pasek Kayu Selem. Menurut Pan Indra yang merupakan pemangku pura menuturkan kisah keberadaan Pura Luhur Pucak Taman Sari, dimulai dari leluhurnya yang sejak kecil mengabdi kepada Raja Tabanan, sebagai parekan sayang raja, kemudian setelah dewasa mohon pamit sebagai abdi akan kembali ke kampungnya mencari jodoh.

Karena sudah sekian lama menjadi abdi yang setia, kemudian raja mengumpulkan para selirnya, Ki Pasek dipersilahkan memilih salah satu selir raja. Dengan rasa canggung Ki Pasek memilh salah satu selir, ternyata selir tersebut sedang hamil.

Melihat pilihan Ki Pasek, raja terkejut, tapi harus setia wacana, raja bersabda “Baiklah Ki Pasek, kamu boleh mengambil selirku yang sedang hamil tapi kamu tidak boleh mencampurinya sampai lahir. Ki Pasek bersujud menjunjung tinggi titah raja. “Singkat ceritra, kemudian selir raja tersebut melahirkan seorang putra dan dirawat seperti anaknya sendiri. Sampai akhirnya menginjak dewasa kemudian dihaturkan ke puri bahwa putra beliau sudah dewasa,” ungkap Mangku Pan Indra.

Namun raja belum bisa menerima karena penampilan putra tersebut seperti pemuda desa, agak kusam (maklum anak desa zaman dulu). Akhirnya Putra Raja tersebut nangun yasa melakukan tapa semadhi di sebuah hutan yang tak lain sekarang menjadi Pura Pucak Taman Sari. Keajaiban terjadi dalam semadhinya, tak berapa lama dari celah batu yang ada di tempat tersebut keluar air panas yang terdiri dari empat warna yaitu Kuning, Kehitaman, Putih, bersawang Hijau. Sesuai pewuwus yang diterima putra raja lalu beliau mandi dengan keempat macam air panas yang keluar dari celah batu tadi, barulah nampak kewibawaan beliau sebagai Putra Raja.

Setelah itu putra tersebut kembali ke puri menghadap raja diantar oleh Ki Pasek. Melihat kedatangan putranya, raja sangat terkejut karena aura kewibawaan begitu besar terpancar dari putranya. Sejak saat itu putra tersebut tinggal di Puri dan Ki Pasek disuruh kembali dengan amanat agar tempat semadhi putra beliau dibangun kahyangan.

Sejak itulah leluhurnya Pemangku Pan Indra secara turun temurun mengabdi menjadi pemangku Pura Luhur Pucak Taman Sari. Beji pura ini berstana Ratu Nyoman Sakti, dan merupakan satu-satunya beji yang terdiri dari air panas dan air tawar, terdiri dari tiga jenis, pertama. keluar dari sumbernya berwarna putih dan panas, kedua juga air panas namun didasarnya berwarna kuning, dan di sebelah selatannya merupakan sumber air tawar. Sebelum melakukan persembahyangan di Pura Luhur Pucak Taman Sari, para pamedek wajib melakukan penyucian pada ketiga sumber air tersebut. Tujuannya adalah memohon pengelukatan sebelum memasuki mandala pura. Barulah dilanjutkan dengan melakukan persembahyangan di pelinggih Ratu Made Sakti, kemudian pada pesimpangan Pura Luhur Pucak Adeng, setelah itu barulah ke Pelinggih Agung.

Pada areal pura, semua bangunan pelinggih merupakan bebaturan, atau batu berundag. Keunikan yang terdapat pada pelinggih Agung adalah pondasinya atau bagian terbawah merupakan batu besar seperti dicetak, tak ubahnya seperti pada pemasangan batu padas, namun menjadi satu, diikat oleh akar kayu melingkari dasar pelinggih. Di sebelah baratnya terdapat batu berbentuk gunung linggih sumber air Catur Warna, tempat keluarnya air pengelukatan Putra Raja yang hingga kini diyakini sebagai toya pengelukatan yang ampuh.

“Air dari sumber air catur warna tersebut digunakan sebagai panglukatan, membersihkan segala mala,” ungkap pemangku pura. Akar kayu sepertinya menjadi lantai jeroan karena akar kayu tersebut menjalar memenuhi halaman jeroan, hanya beberapa di sela oleh tanah, dan jika lantai tanah itu diinjak dengan sedikit dihentak akan mengeluarkan bunyi yang bergema.

Di jaba Pura berjajar dua pohon besar yang menurut keterangan pemangku merupakan Gapura Niskala (Pintu masuk Ida Betara di Niskalanya), dan juga diyakini oleh penduduk sekitarnya merupakan pohon angker. Terbukti baru-baru ini petugas Proyek Pelebaran dan pemadatan jalan baru, akan menebang pohon tersebut lari ketakutan karena melihat dua sosok orang tinggi besar dan hitam bediri di hadapan petugas proyek.

Akhirnya pelebaran jalan dialihkan ke selatan. Yang lebih unik pada beji tersebut, sebelah utara sumber mata air panas dan di sebelah selatan sumber mata air tawar, digabungkan dalam satu selokan namun perbedaan masih sangat dirasakan atara air panas dan air dingin. Atas prakarsa pengempon gabungan air panas dan dingin tersebut dialirkan dibuatkan pancuran untuk permandian umum. Permandian ini dibangun agak di selatan, dan diyakini dapat menyembuhkan beberapa penyakit, khususnya rematik dan gatal.

Umat yang berkeinginan untuk menghaturkan bhakti ke Pura Pucak Taman Sari sarana upakara antara lain, peras pejati, peras sorohan, tipat soda, arak, rokok kalau memungkinkan rokok yang terbungkus kulit jagung. Beji Ratu Nyoman Sakti Pura Luhur Pucak Taman Sari merupakan Beji Pura Pucak Sari Banjar Bugbugan Senganan.

Suara Genta dari Alam Gaib

Berbagai kejadian unik pernah terjadi di pura ini. Sekitar tahun 1960-an saat terjadinya pergolakan partai, waktu Sesuhunan Pura Luhur Pucak Sari Bugbugan lunga ke Beji, setelah selesai upacara di Ratu Nyoman Alit, umat bermaksud sesuhunan tidak dimampirkan ke Pura Luhur Pucak Taman Sari. Para pengiring pembawa Bandrang, Payung Pagut, Rontek, pemangku, pengiring sudah berada di jalan besar (jaraknya kurang lebih 500 m), setelah berbaris di jalan besar, baru disadari ternyata ampilan sesuhunan tidak ada.

Kembalilah para pengiring ke Beji, ternyata Ampilan yang disungsung oleh pemangku Pura Pucak Sari masih berada di Luhur Pucak Taman Sari, barulah kemudian pemangku Pura Pucak Sari ngaturang Guru Piduka. Setelah semua pengiring ngaturang bhakti barulah Sesuhunan berangkat diiringi oleh Rontek, payung pagut, tedung diiringi suara genta pemangku. Sejak saat itu setiap Ida sesuhunan Pucak Sari lunga ke beji, pasti simpang di Pura Luhur Pucak Taman Sari, dan anehnya lagi walaupun di jeroan tidak begitu luas, dapat menampung semua pengiring yang jumlahnya ratusan orang.

Sesuhunan driki nak suweca. Apapun yang dimohonkan akan terpenuhi asalkan dengan tulus,” ungkap pemangku. Pernah tahun 1984 ada penangkilan yang bernama Nengah Jantik dari Br. Abiantuwung, Kediri, datang ngaturang bhakti dan mohon sesuatu. Permohonannya terpenuhi, kemudian dari Batu sumber mata air catur warna itu muncrat air setinggi 2 meter. Menyaksikan keajaiban itu lalu Nengah Jantik terkejut hingga pingsan. Air itulah kemudian dipakai untuk mengobatinya beserta seluruh keluarga yang rauh nangkil saat itu ikut melukat. Hingga saat ini keluarga Nyoman Jantik tetap nangkil setiap piodalan Ida Betara.

“Kalau tapa semadhi kita khusuk, akan mendengar suara genta yang diikuti oleh gender, yang sangat merdu tak ubahnya suara gender di sekala,” tambahnya. Sebelum perbaikan tahun 1984, di atas batu sumber air catur warna tersebut tumbuh pohon Boni, yang berbuah sepanjang masa, tanpa musim. Dulu buah boni itulah dimohonkan kepada sesuhunan untuk sarana obat berbagai penyakit. Begitu juga tirta pura merupakan berkah yang tak ternilai.

Pasalnya setiap ada permasalahan khususnya pada masyarakat Bugbugan biasanya dapat diselesaikan setelah Nunas Tirtha di Luhur Pucak Taman Sari. Sebagai pengayah tetap atau pemangku adalah Mangku Pan Karim dan Pan Indra. Pan Indra merupakan seorang polisi yang masih aktif, namun sudah ngiring matetamban sejak muda sebelum berkeluarga. Sebelum kembali ke kampungnya, ia kurang perhatian terhadap tugas sebagai pemangku, yang mengakibatkan selalu mendapat halangan dalam menjalani kehidupannya, entah masalah keluarga, masalah keuangan dan lainnya.

Tahun 2005 Mangku Pan Indra menyadari tugasnya menjadi pemangku, balik kembali kampung, dan tugasnya sebagai Polisi pindah ke Resot Penebel. Setelah kembali kampung melakukan swadharma pemangku dan metetamban barulah keluarganya selamat. Ternyata tugas niskala tidak dapat ditolak apapun alasannya

Pura Dalem Jambangan, Mengwi

Penggodokan Sang Atma Menuju Merajapati

Pura Dalem Jambangan yang berlokasi dekat setra Desa Adat Mengwi, tak lain merupakan tegal penangsaran di alam niskala. Setiap atma orang yang baru meninggal, sebelum menuju Merajapati digodok terlebih dahulu di pura ini, guna mendapatkan tiket.

Reporter : Goesrai & Sadnyari

Bagi orang yang pertama kali memasuki kawasan Pura Dalem Jambangan, mungkin belum mengetahui di tempat tersebut terdapat pura. Pura Dalem Jambangan merupakan sebuah pura kecil namun sangat dikenal dengan keunikan yang dimiliki. Berbagai kegiatan spiritual senantiasa mengisi keseharian Pura Dalem Jambangan yang berlokasi di Jalan Setra Gandamayu No. 4, Banjar Pengiasan, Mengwi di sebelah timur Setra Gede Desa Adat Mengwi.

Di jaba pura tertata taman yang asri memberi suasana tenang dan santai sehingga cocok menjadi tempat penyembuhan serta mempelajari pengetahuan kerohanian. Apalagi tumbuh pohon Matua sebagai penyejuk, tercermin suasana hening, tak terpengaruh oleh hiruk pikuk kendaraan Denpasar-Singaraja serta kegiatan bisnis lainnya.

Pura Dalem Jambangan juga dikenal sebagai pura kawisesan, karena pura ini dijadikan tempat matetambaan, perdukunan, meningkatkan kerohanian dan spiritual untuk mendapatkan perlindungan-Nya. Seperti diungkapkan Mangku Gede Sukarta, pemangku Pura Dalem Jambangan, di sini biasa dilakukan upacara pacaruan catur, bayuh pamelikan, pengalang ati, panundung lara, dan lain sebagainya.

Menurut Mangku Gede Sukarta, awalnya Pura Dalem Jambangan berlokasi di suatu tegal sehingga disebut pula Pura Tegal Penangsar. Pura Dalem Jambangan dalam lontar Panca Durga, disebutkan Jambangan berarti kawah dalam perputaran mandara giri. Keberadaan Pura Dalem Jambangan atau Pura Tegal Penangsaran di Mengwi ini berperan sebagai penampih Pura Dalem.

Mangku Gede Made Sukarta, ngayah di Pura Dalem Jambangan sebagai penerus dari para leluhurnya yang sudah tak terhitung (kumpi buyut ke sekian), sehingga keberadaan atau sejarah pura hanya disampaikan secara lisan, tutur-tutur yang disampaikan secara turun temurun. Dahulu sewaktu Mengwi masih kosong (penduduknya jarang) setra pertama yang ada hanya di Mengwitani, dengan puranya Dalem Brerong. Dengan berkembangnya zaman, dan jumlah penduduk semakin banyak maka semakin ramai pula Mengwi, barulah dibuatkan lokasi setra di Mengwi Gede. Sementara Pura Dalem Jambangan ini awalnya dipakai sebagai Pura Dalem.

“Disebut Dalem Jambangan, karena di lokasi berdirinya pura sudah napet ada jambangan batu paras, yang menggambarkan keadaan di Tegal Penangsar dalam pemutaran Mandara Giri.” jelas Mangku Gede Sukarta. Menurutnya, atma orang yang baru meninggal terlebih dahulu melewati tegal penangsaran yang dijaga oleh Sang Hyang Jogor Manik (Sang Suratma). Di sinilah atma digodok di atas jambangan untuk ditentukan ke mana ia selanjutnya.

Simbolnya kalau jambangan ini berputar dari kiri ke kanan (purwa daksina) maka atman tersebut akan anemu rahayu, suarga kepangguh. “Tetapi apabila perputaran itu berbalik dari kanan ke kiri itu berarti anemu wisya, neraka kepangguh,“ ungkap Mangku Gede. Hasil penggodokan inilah yang dipakai dasar oleh Sang Jogor Manik untuk memutasikan (memposisikan) para atman ke mana tempatnya sesuai dengan karma wesananya masing-masing selama hidup di dunia. Apakah masuk kawah candra dimuka (neraka) ataukah masuk surga. Di sini pula Sang Jogor Manik membacakan putusan yang didasari atas pertimbangan karma di mercepada, kehidupan sebelum kematian.

Secara sekala Sang Jogor Manik laksana hakim. Hanya saja bedanya Sang Jogor Manik tak mempan disuap, oleh bentuk apapun jua (uang, wanita atau lainnya). Di samping penggodokan, di Tegal Penangsaran ini pula Sang Jogor Manik memberikan pembinaan mental (pendidikan pra jabatan) sebelum melaksanakan tugas apakah sebagai pesakitan di Neraka atau ngaturang ayah di Surga. Ternyata perjalanan kehidupan di alam setelah kematian cukup panjang. Pasalnya menurut Managku Sukarta, setelah para atma yang ngaturang ayah sekian puluh tahun, atau ratusan tahun, dan berprestasi baik, barulah dipersilahkan keluar dari Tegal Penangsaran (Pura Dalem Jambangan) ini meneruskan perjalanan ke Merajapati. Setelah berhasil baik melaksanakan kewajiban di Merajapati baru kemudian resmi ngaturang ayah di Pura Dalem.

Pura Dalem Jambangan banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai pelosok, tidak saja dari Mengwi, Depasar, Bali namun banyak pula dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan orang dari mancanegara. Umumnya mereka yang sudah tak bisa lagi diobati secara medis, di Pura Jambangan inilah para bhakti memohon kehadapan Beliau Hyang Widhi. menyampaikan keluhannya, dituntun oleh Pemangku.

Selain secara niskala, pengobatan di pura ini dilakukan dari hati ke hati yaitu berupa pembinaan mental yang intinya semua berpangkal kepada kepasrahan untuk berserah kepada garis kehidupan yang telah diberikan oleh Hyang Widhi. Melaksanakan Swadharma masing-masing, berlandaskan kebenaran.

“Orang sakit tidak selalu bisa disembuhkan dengan obat secara nyata. Lewat obrolan juga bisa menyembuhkan orang sakit, karena dengan pendekatan dan obrolan yang bermanfaat akan mampu membangun jiwanya menjadi sehat. Di sinilah diperlukan pembinaan mental untuk menciptakan mental yang kuat,” jelas Mangku Gede Sukarta.

Sederhana saja, dengan intropeksi diri akan menemukan jati diri. Inilah dalam usada, oleh pemangku disebut sebagai ilmu penangkan paran, mereka yang sakit dan datang ke Pura Dalem Jambangan diajarkan ilmu ini yang tak lain merupakan ilmu penyebab terjadinya sesuatu. Dengan demikian metode penyembuhan yang diberikan didasarkan pada penyebab sakit yang diderita oleh pasiennya.

Dengan berhasilnya mencetak bibit penolong seperti disebutkan adalah Jro Suik, Jro Nonik, Ketut Sri, Wayan Sura, dan Jro Kemenuh yang kini telah mampu melakukan penanganan sendiri terhadap orang-orang yang sakit. Di Bali bahkan di luar Bali telah cukup banyak yang datang dan berhasil disembuhkan. Pertolongan pun diberikan hingga ke luar Bali. Setiap hari Pura Dalem Jambangan rutin didatangi oleh orang-orang yang ingin mendapat perlindungan-Nya.

Banyaknya aktivitas yang ada di Pura ini, tidak saja orang kabrebehan (sakit) yang datang ke Pura Dalem Jambangan. Banyak pula orang spiritual datang berkumpul pada hari-hari tertentu, dari kegiatan itu sudah banyak melahirkan kader-kader (Sadeg, Balian) pengemban tugas Beliau membantu masyarakat di berbagai pelosak memberikan pembinaan mental dan pengobatan sesuai dengan tugas Beliau Sang Jogor Manik.

dharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan Bangli

Kisahkan Pengungsian Dalem dari Puri Pejeng

Perjalanan panjang dari Ida Dalem Tarukan akibat pengungsian dari istana, akhirnya menjadi tonggak sejarah perjalanan di Desa Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli. Di sanalah berdiri kokoh Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan. Setiap enam bulan sekali atau pada acara-acara lainnya menjadi perhatian umat sedharma terutama warih Dalem Tarukan.

Reporter : Putu Patra

Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan tidaklah sulit mencarinya. Perjalanan bisa lewat dari berbagai arah. Bisa dari Kota Bangli, dari Banjarangkan, Klungkung, atau bisa juga melalui jalan lain sesuai dengan asal pemedek. Pura ini tepatnya berada di Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli. Lokasinya berada di daerah sejuk, masih dalam suasana desa. Perjalanan dari Denpasar cukup jauh dan melelahkan. Namun, selama perjalanan banyak melalui hamparan hijau, sehingga bisa memberikan panorama yang indah sepanjang perjalanan.

Luas pura juga cukup memadai. Ada tempat parkir, begitu juga di sebelah timur pura ditemukan areal yang kosong cukup luas. Fasilitas untuk pemedek juga tersedia bahkan kebersihan juga terjamin. Sarana umum seperti wantilan juga mampu menampung ribuan orang. Suasana pura akan tampak lain ketika odalan digelar tepat Buda Kliwon Ugu setiap enam bulan sekali.

Dapat dibayangkan, sesak umat Hindu terutama dari Pertisentana Dalem Tarukan yang tumpah ruah ke pura. Walaupun disediakan waktu nyejer selama tiga hari, toh juga bludakan pemedek tak pernah sepi. Pelataran kahyangan yang cukup luas pun seakan menjadi sempit. Apalagi jumlah perti sentana di seluruh Nusantara seperti dikatakan Bapak I Wayan Waya, S.H sebagai pengurus pusat Sentana Dalem Tarukan jumlahnya 200-an ribu. Tersebar di Jawa, Lombok dan daerah lainnya.

Sementara Jro Mangku Jati mengungkapkan, guna mengetahui bagaimana kisah atau sejarah pura ini sudah ada babad Pula Sari yang mengisahkan perjalanan Ida Dalem Tarukan yang mengungsi dari istana megahnya. Perjalanan ini berhubungan dengan titah sebagai raja menggantikan saudaranya yang tidak mau menjadi raja. Untuk itu berikut cukilan sejarahnya berdasarkan babad Dalem Tarukan.

Jro Mangku Jati yang tingal di Banjar Puseh, Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli memberikan/menceritakan sejarah pura berdasarkan data yang sudah tersebar dan sudah banyak dikisahkan dalam babad-babad. Apalagi perjalanan panjang dari leluhur Dalem Tarukan berawal dari Istana Samprangan di mana ayahnya Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai raja.

Dari ayah Sri Kresna Kepakisan, Ida Dalem Tarukan mempunyai sameton/saudara lima orang. Antara lain Dalem Agra Samprangan, Dalem Tarukan, Dewa Ayu Swabawa, Dalem Ketut Ngulesir dan I Dewa Tegal Besung. Ayahnya berkuasa di Bali mulai tahun 1272 berkedudukan di Samprangan Gianyar dengan membawa keris utama bernama Ki Tanda Langlang.

Singkat cerita, Dalem Tarukan dewasa membangun puri di Tarukan Pejeng, Ganyar, Ida di sana bersama istrinya dari Lempuyang Madya Bukit Gamongan. Ditemani putra angkatnya Rakriyan Kuda Pinandang Kajar. Anak angkatnya ini putra dari Dalem Blambangan, ditemani juga masyarakat dan maha patih yang setia kepada Dalem Tarukan.

Perjalanan Dalem Tarukan memang penuh dilemma. Pasalnya, petaka dating ketika anak angkatnya sakit. Ketika anaknya Rakriyan Kuda Pinandang Kajar sakit, Dalem Tarukan sauh munyi. Seraya berucap, seandainya anakku sembuh akan ku kwainkan dengan Dewa Ayu Muter putri dari Dalem Samprangan. Benar saja, setelah kata-kata mengujar, Pinandang Kajar sembuh total.

Guna menepati janjinya, menikahkan Dewa Ayu Muter dengan anak angkatnya. Setelah pernikahan dilakukan, bukan kebahagiaan yang dirasakan oleh Dalem Tarukan termasuk anaknya, justru amarah besar dari Dalem Samprangan. Pasalnya, pernikahan ini dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Dalem Samprangan. Semenjak itulah jiwa Dalem Tarukan terancam, karena Dalem Samprangan mengutus pasukannya cukup banyak untuk melakukan serangan ke Puri Pejeng. Jumlah cukup lumayan 3 ribu pasukan yang siap menyerbu Puri Pejeng.

Menghindari petaka tersebut, Dalem Tarukan mengungsikan diri, bahkan tanpa mengikutsertakan istri setianya. Lebih menyedihkan lagi, istrinya mengandung janin sekitar enam bulanan. Pelarian ini menyusuri Desa Taro, Desa Pulesari di sebelah selatan Tampuwagan, Tembuku, Bangli. Di Tampuwagan inilah Ida Dalem Tarukan nyineb wangsa agar selamat dari serangan pasukan Dalem Samprangan yang mengejar dirinya. Bahkan Dalem Tarukan menyelinap di sela-sela petani yang sedang menanam padi. Ida Dalem Tarukan nyamar sebagai petani.

Setelah pasukan lewat, beliau masuaka kepada masyarakat petani. Di mana kepada petani menyarankan agar Dalem Tarukan jangan dipanggil Gusti, I Dewa, majero agar persembunyiannya tidak diketahui. Selanjutnya Dalem Tarukan diantar ke padukuhan tepatnya di selatan dusun Pulasari sekarang. Beliau diterima Ki Dukuh Pantunan. Setelah lama berada di dusun ini, akhirnya tercium juga, dan pasukan dating lagi mencari jejak Dalem Tarukan.

Hampir saja beliau tertangkap, karena pasuwecan Hyang Widhi, beliau sembunyi di semak-semak belukar yang banyak binatangnya seperti puyuh, perkutut, dan berada di bawah tumbuhan jawa jali, pohon pisang. Beruntung kicauan burung yang bercanda memberikan keselamatan kepada Dalem Tarukan. Berkat canda, kicau burung pasukan menyangka tidak ada siapa-siapa di semak-semak tersebut.

Selamatlah Dalem Tarukan dari kejaran pasukan. Di situlah Dalem Tarukan memberikan suaka, berkat jasanya menyelamatkan nyawanya, seketurunannya tidak akan makan/mangsa burung puyuh, jawa jail. Setelah lama kemudian, kembali Dalem Tarukan tidak merasa nyaman, lalu dipindahkan ke desa lainnya. tersebutlah Desa Poh Tegeh di wilayah Songan. Beliau di sini diterima oleh Ki Gusti Poh Tegeh sementara Dalem Tarukan ditempatkan di Jenggala Sekar, Desa Tegal Bunga yang diterima oleh Ki Dukuh Dami.

Singkat cerita, Dalem Tarukan lama sudah berdiam di Dukuh Bunga sampai mempunyai tujuh keturunan dari lima istri-istrinya. Di antara ketujuh anak-anaknya itu adalah : I Gusti Sekar dan I Gusti Gede Pulasari dari ibunya Gusti Ayu Kwaji, I Gusti Gede Bandem dengan ibunya Jero Sekar putri dari Dukuh Bunga, I Gusti Gede Dangin dengan ibunya Jro Dangin putri dari Dukuh Darmaji, I Gusti Gede Belayu dengan Jro Belayu putri dari Mekel Belayu, dan akhirnya I Gusti Gede Balangan dan Gusti Ayu Wanagiri dengan ibunya Gusti Luh Balangan.

Dari padukuhan Bunga, Dalem Tarukan lagi mengungsi ke berbagai desa yang ada di bangle dan Karangasem. Sampai akhirnya menemukan tempat yang sangat cocok bernama Pulasantun kini disebut Desa Pulasari. Di sinilah Dalem Tarukan merasa damai. Sampai akhirnya ingat dengan istrinya yang mengandung selama enam bulan. Walau sebelumnya Dalem Tarukan menemui celaka atas meninggalnya putri kesayangannya bernama Gusti Ayu Wanagiri akibat bertemu dengan Dukuh Darmaji berkat makan beras putrinya meninggal dunia. Akhirnya jasad Wanagiri dimakamkan di Sukawana dengan bade tumpang pitu.

Setelah menemukan lokasi yang cocok, di sanalah Dalem Tarukan dengan istri-istri dan anak-anaknya kumpul. Bahkan Dalem Tarukan tidak ada niat kembali ke istananya di Pejeng. Di sinilah beliau bercocok tanam. Uniknya, Dalem Tarukan justru tertarik dengan kadiatmikan, sebagai kabujanggaan.

Sebagai akhir cerita, Ida Dalem Tarukan wafat pada Wraspati, Kliwon Ukir Isaka 1321/1399 Masehi. Segala upacara yang dilaksanakan atas wafatnya Dalem Tarukan adalah di Desa Pulasari. Abunya dihanyut di Tukad Congkang, atas upacara Dewa Hyang (Atma Pratista), maka Dalem Tarukan dilinggakan di Meru Tumpang Pitu.

Yang sangat unik selama upacara palebon, banyak harta benda yang tidak bisa dihabiskan, termasuk makanan, uang kepeng sampai dihanyut di tukad Bubuh dan tukad Jinah. Tukad Bubuh, karena tempat membuang makanan yang tidak habis digunakan oleh panjak Ida Dalem Tarukan, sementara tukad Jinah, karena tempat membuang uang kepeng yang juga kebanyakan sampai tidak bisa digunakan karena sudah dempet, sulit dipisahkan.

Sampai sekarang, Desa Pulasari menjadi lokasi kahyangan Pertisentana Dalem Tarukan sebagai padharman Pusat yang selalu mendapat perhatian dari seluruh Para Gotra Santana Dalem Tarukan.

Pura Beten Camplung, Kedungu, Tabanan


Stana Ida Ratu Mas Ayu Agung Sakti /Biyang Géléh

Sosok Men Géléh atau Biyang Géléh seringkali digambarkan berwajah serem, tinggi besar gemuk, dengan susunya yang besar menggelayut, dikaitkan dengan anak kecil. Kalau terus menerus menangis tak henti, diganggu oleh Mén Géléh karena belum menghaturkan sesaji kepada Mén Géléh, berupa Tipat Galeng.

Pura Betén Camplung yang juga disebut Ratu Mas Ayu Agung Sakti. Pura ini berada di kawasan Banjar Kedungu, Desa Kedungu, Kediri Tabanan, dipesisir pantai Selatan kurang lebih 12 Km ke arah selatan Kota Tabanan. Untuk mencapai pura ini dapat dicapai melalui Pejaten atau Beraban, dipinggir kali kecil setelah melalui jalan kecil, berdiri sebuah Pura Beten Camplung berbentuk Bangunan Gedong dan sebuah Piasan.

Walaupun tidak ada Purana namun Mangku Pasti yang merupakan pemangku pura menuturkan “Dari Kakek buyut tiyang sudah menjadi pengayah di Pohon Camplung itu dulunya belum berbentuk Pura yang kebetulan tumbuh di tegalan tiyang”, ungkap Pemangku 66 tahun ini. Entah bagaimana awalnya para Nelayan sebelum pergi melaut selalu tangkil ngaturang Bhakti di Pohon Camplung itu, demikian pula Sekehe Semal sebelum melaksanakan perburuan Semal, semua tangkil ngaturang bhakti agar diberikan keselamatan dan hasil yang memuaskan.

Diungkapkan oleh pemangku yang juga dikenal dengan nama Wayan Renes, pada hari-hari tertentu ada seorang nenek tua dair luar banjarnya, menebarkan dedakdan sambil berucap “Ngih Ratu Biyang Géléh niki sampun titiang ngaturin ancangan I Ratu oot” kemudian ia mebhakti di Pohon Camplung. Pohon Camplung tersebut lama kelamaan setiap ada suatu kegiatan upacara di Banjarnya banyak orang Ngaturang Piuning ke Pohon Camplung, nunas Tirtha, agar Upacaranya Selamat.

“Sekitar tahun 1974, semasih orang tua tiyang ngaturang ayah (ngemangkunin-red), seperti mimpi didatangi oleh perempuan berperawakan tinggi besar dan gemuk, berambut putih panjang terurai (megambahan), mekamben dengan dada telanjang sehingga susunya kelihatan besar menggelayut, minta agar dibuatkan bangunan Pura. Berdasarkan mimpi, kemudian tiyang buatkan sebuah palinggih,” jelas Mangku Pasti.

Anehnya setelah bangunan Pura selesai diplesapas, pohon Camplung itu meranggas, daun serta dahan-dahannya yang besar mengering dan berguguran satu persatu. Tetapi jatuhnya pohon Camplung itu tidak mengenai bangunan Pura yang tepat berada dibawahnya, dahan-dahannya terlempar jauh. Banyak masyarakat sekitarnya yang memungut dahan-dahan yang kering akan dijadikan kayu bakar, namun apa yang terjadi. Mereka yang memungut keesokan harinya kembali ke pohon camplung mengembalikan kayu yang mereka ambil.

Menurut keterangan dari yang memungut, malamnya saat tidur mimpi dicari oleh Perempuan bertubuh tinggi besar meminta kayu yang dipungut tadinya. Demikian juga jika di Banjarnya atau di Br. Belalang akan melaksanakan Upacara Ngeréh (Msupati Ratu Mas / yang akan nyungsung), sebelum upacara dimulai selalu rauh nangkil matur piuning, ngaturang bhakti selanjutnya mengelilingi pohon Camplung sebanyak tiga kali untuk diberikan kerahayuan, terhindar dari gangguan Sekala Niskala.

Berdasarkan keyakinan yang ada, bagi pamedek yang datang dan nunas ica di Pura Beten Camplung membawa persembahan berupa Tipat Galeng hitam yang terbuat injin. “Beberapa bulan lalu seorang penyungsung Ratu Mas Druwe Pura Dalem Br. Belalang yang tinggal di Denpasar, cucunya kerauhan. Ini karena ia sudah puluhan tahun tidak pernah nangkil ke Pura, alasannya karena merantau ke Denpasar. Dari kerauhan itu iapun kemudian datang ngaturang Guru Piduka. Diperingatkan oleh cucunya yang kerauhan agar ingat dengan pinunasnya dulu,” ungkap pemangku.

Sampai sekarang jika masyarakat Br. Kedungu atau Balalang kehilangan Sapi atau Babi, setelah nangkil dan Ngaturang Bhakti di Pura Batan Camplung, banyak yang terbukti berhasil, Sapi atau Babinya dapat diketemukan lagi. Sarana aturan yang dibawa yaitu Canang meraka, Peras Pejati, Tipat Galeng Hitam (dari injin), dengan segehan selem. Pernah kejadian seorang bhakta Ngaturang Penauran/Sesaudan (Aturan jika sudah permohonan terbukti berhasil), lupa membawa segehan Selem, lalu nasi bungkus yang dibeli diwarung dipakai Segehan, begitu selesai ngaturang, langsung orang tersebut Ngetaktak meguyang di hadapan pelinggih, setelah pemangku mengganti dengan segehan selem, baru orang tersebut sembuh/sadar, dan menceritrakan tadi badannya ditarik/diputar oleh orang tinggi besar.Budikrista & Sadnyari