Di jaba pura tertata taman yang asri memberi suasana tenang dan santai sehingga cocok menjadi tempat penyembuhan serta mempelajari pengetahuan kerohanian. Apalagi tumbuh pohon Matua sebagai penyejuk, tercermin suasana hening, tak terpengaruh oleh hiruk pikuk kendaraan Denpasar-Singaraja serta kegiatan bisnis lainnya.
Pura Dalem Jambangan juga dikenal sebagai pura kawisesan, karena pura ini dijadikan tempat matetambaan, perdukunan, meningkatkan kerohanian dan spiritual untuk mendapatkan perlindungan-Nya. Seperti diungkapkan Mangku Gede Sukarta, pemangku Pura Dalem Jambangan, di sini biasa dilakukan upacara pacaruan catur, bayuh pamelikan, pengalang ati, panundung lara, dan lain sebagainya.
Menurut Mangku Gede Sukarta, awalnya Pura Dalem Jambangan berlokasi di suatu tegal sehingga disebut pula Pura Tegal Penangsar. Pura Dalem Jambangan dalam lontar Panca Durga, disebutkan Jambangan berarti kawah dalam perputaran mandara giri. Keberadaan Pura Dalem Jambangan atau Pura Tegal Penangsaran di Mengwi ini berperan sebagai penampih Pura Dalem.
Mangku Gede Made Sukarta, ngayah di Pura Dalem Jambangan sebagai penerus dari para leluhurnya yang sudah tak terhitung (kumpi buyut ke sekian), sehingga keberadaan atau sejarah pura hanya disampaikan secara lisan, tutur-tutur yang disampaikan secara turun temurun. Dahulu sewaktu Mengwi masih kosong (penduduknya jarang) setra pertama yang ada hanya di Mengwitani, dengan puranya Dalem Brerong. Dengan berkembangnya zaman, dan jumlah penduduk semakin banyak maka semakin ramai pula Mengwi, barulah dibuatkan lokasi setra di Mengwi Gede. Sementara Pura Dalem Jambangan ini awalnya dipakai sebagai Pura Dalem.
“Disebut Dalem Jambangan, karena di lokasi berdirinya pura sudah napet ada jambangan batu paras, yang menggambarkan keadaan di Tegal Penangsar dalam pemutaran Mandara Giri.” jelas Mangku Gede Sukarta. Menurutnya, atma orang yang baru meninggal terlebih dahulu melewati tegal penangsaran yang dijaga oleh Sang Hyang Jogor Manik (Sang Suratma). Di sinilah atma digodok di atas jambangan untuk ditentukan ke mana ia selanjutnya.
Simbolnya kalau jambangan ini berputar dari kiri ke kanan (purwa daksina) maka atman tersebut akan anemu rahayu, suarga kepangguh. “Tetapi apabila perputaran itu berbalik dari kanan ke kiri itu berarti anemu wisya, neraka kepangguh,“ ungkap Mangku Gede. Hasil penggodokan inilah yang dipakai dasar oleh Sang Jogor Manik untuk memutasikan (memposisikan) para atman ke mana tempatnya sesuai dengan karma wesananya masing-masing selama hidup di dunia. Apakah masuk kawah candra dimuka (neraka) ataukah masuk surga. Di sini pula Sang Jogor Manik membacakan putusan yang didasari atas pertimbangan karma di mercepada, kehidupan sebelum kematian.
Secara sekala Sang Jogor Manik laksana hakim. Hanya saja bedanya Sang Jogor Manik tak mempan disuap, oleh bentuk apapun jua (uang, wanita atau lainnya). Di samping penggodokan, di Tegal Penangsaran ini pula Sang Jogor Manik memberikan pembinaan mental (pendidikan pra jabatan) sebelum melaksanakan tugas apakah sebagai pesakitan di Neraka atau ngaturang ayah di Surga. Ternyata perjalanan kehidupan di alam setelah kematian cukup panjang. Pasalnya menurut Managku Sukarta, setelah para atma yang ngaturang ayah sekian puluh tahun, atau ratusan tahun, dan berprestasi baik, barulah dipersilahkan keluar dari Tegal Penangsaran (Pura Dalem Jambangan) ini meneruskan perjalanan ke Merajapati. Setelah berhasil baik melaksanakan kewajiban di Merajapati baru kemudian resmi ngaturang ayah di Pura Dalem.
Pura Dalem Jambangan banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai pelosok, tidak saja dari Mengwi, Depasar, Bali namun banyak pula dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan orang dari mancanegara. Umumnya mereka yang sudah tak bisa lagi diobati secara medis, di Pura Jambangan inilah para bhakti memohon kehadapan Beliau Hyang Widhi. menyampaikan keluhannya, dituntun oleh Pemangku.
Selain secara niskala, pengobatan di pura ini dilakukan dari hati ke hati yaitu berupa pembinaan mental yang intinya semua berpangkal kepada kepasrahan untuk berserah kepada garis kehidupan yang telah diberikan oleh Hyang Widhi. Melaksanakan Swadharma masing-masing, berlandaskan kebenaran.
“Orang sakit tidak selalu bisa disembuhkan dengan obat secara nyata. Lewat obrolan juga bisa menyembuhkan orang sakit, karena dengan pendekatan dan obrolan yang bermanfaat akan mampu membangun jiwanya menjadi sehat. Di sinilah diperlukan pembinaan mental untuk menciptakan mental yang kuat,” jelas Mangku Gede Sukarta.
Sederhana saja, dengan intropeksi diri akan menemukan jati diri. Inilah dalam usada, oleh pemangku disebut sebagai ilmu penangkan paran, mereka yang sakit dan datang ke Pura Dalem Jambangan diajarkan ilmu ini yang tak lain merupakan ilmu penyebab terjadinya sesuatu. Dengan demikian metode penyembuhan yang diberikan didasarkan pada penyebab sakit yang diderita oleh pasiennya.
Dengan berhasilnya mencetak bibit penolong seperti disebutkan adalah Jro Suik, Jro Nonik, Ketut Sri, Wayan Sura, dan Jro Kemenuh yang kini telah mampu melakukan penanganan sendiri terhadap orang-orang yang sakit. Di Bali bahkan di luar