Puri Surya Majapahit, Bantang Banua, Sukasada, Buleleng

Pemersatu Keturunan Majapahit

Setelah Puri Surya Majapahit berhasil diwujudkan di Puri Gading, Jimbaran, Badung, kini situs Majapahit kembali bisa diwujudkan di Buleleng. Pembangunan tempat ini diwarnai berbagai peristiwa niskala, hingga munculnya mata air suci (tirta pasupati) yang berfungsi sebagai pemersatu dan pemahayu jagat. Apakah ini pertanda awal kebangkitan leluhur Majapahit di Bali umumnya dan Buleleng khususnya? Inilah liputannya.

Reporter : Andiawan

Bagi sebagian umat Hindu di Bali (di luar Bali Mula) tak bisa dilepaskan dari sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit. Pasalnya, leluhurnya berasal dari Majapahit. Hal itu dibuktikan, dengan adanya palinggih menjangan seluwang di setiap merajannya.

Namun demikian, tak banyak keturunannya yang eling (ingat) akan keberadaan linggih leluhurnya terdahulu, sejak kerajaan Majapahit mengalami keruntuhannya 500 tahun silam. Setelah sekian lama tenggelam, kini ada salah satu keturunannya terpanggil dan tergugah untuk membangkitkan kejayaan Majapahit dengan mendirikan linggih Ida Bhatara Leluhur, berupa candi dan bangunan lainnya. Setelah berbagai situs Majapahit berhasil didirikan di Puri Gading, Jimbaran, Badung, kini Puri Surya Majapahit berhasil didirikan di Buleleng, tepatnya di lingkungan Bantang Banua, Kecamatan Sukasada, Buleleng yang cukup megah.

Kejayaan kerajaan Majapahit telah tersohor di seantero Nusantara. Namun, sejak masa keruntuhannya sekitar 500 tahun silam, sebagian besar keturunannya mulai melupakan keberadaan serta kejayaan kerajaan Majapahit tersebut. Setelah 500 tahun berlalu, kini keberadaan serta kejayaan Majapahit berangsur-angsur muncul dan bangkit di Bali.

Hal itu dibuktikan dengan munculnya situs-situs Majapahit di beberapa daerah di Bali. Setelah berbagai situs kebudayaan didirikan di Puri Gading, Jimbaran, Badung, kini di Bumi Panji Sakti, Buleleng, di atas tanah seluas 5,4 are berhasil dibangun tempat suci berupa candi tumpang sembilan lengkap dengan penangkal petir, gedong, padmasana, patung Ganesha, palinggih Taksu, serta bangunan pelengkap lainnya yang cukup megah.

Pratima Budha dilinggihkan di candi tumpang sembilan, sementara pertima Dewa Siwa, Dewi Indraswari, dan Ganesha dilinggihkan di Gedong. Pembangunan Puri Surya Majapahit ini diwarnai berbagai peristiwa gaib yang di luar nalar manusia. “Tiang mendirikan tempat ini bukan dengan tujuan-tujuan tertentu, melainkan karena tiang terketuk dan terpanggil untuk mengabdi dan memberikan yang terbaik kepada Leluhur Majapahit,” jelas Gusti Latria menegaskan.

Di samping itu, Drs. I Gusti Bagus Latria selalu terngiang dengan kata-kata Beliau (Ida Bhatara Leluhur Majapahit-red) melalui salah seorang Sutri. Di mana Ida Bhatara Leluhur Majapahit menyarankan agar dirinya tidak ragu dan takut mewujudkan tempat suci Beliau. Berdasarkan petunjuk itu, dirinya berusaha mewujudkan tempat itu dengan segala kemampuan yang dimiliki.

“Awalnya sempat ragu mampu mendirikan tempat ini, sebab saat itu tiang hanya memiliki sedikit dana. Tetapi, dengan keyakinan penuh dan berserah kepada Ida Sasuhunan, akhirnya tiang berhasil mewujudkan Linggih Beliau,” ujar Gusti Latria yang dikenal ramah ini. Dengan logat bicaranya yang khas, Gusti Bagus Latria lebih jauh memaparkan, sejarah awal dirinya menerima mandat mendak sekaligus nyungsung Pratima Majapahit hingga akhirnya kini malinggih di Puri Surya Majapahit yang berhasil ia dirikan.

Diceritakan lebih lanjut, tepat tanggal (20/5) 2005, I Gusti Bagus Ketut Latria diberikan mandat (surat kuasa) oleh Sri Brahmaraja Wilatikta XI (Penglingsir Puri Surya Majapahit Pusat di Trowulan) untuk mendak Pretima di Gilimanuk. Malamnya sebelum acara mendak tersebut, dirinya mengadakan acara agnihotra di lantai 3 Rumah Sakit Karya Dharma Husada.

Kemudian, sekitar pukul 04.00 Wita, rombongan berangkat menuju Gilimanuk dengan pengawalan yang cukup ketat dari Polres dan LLAJR Buleleng. Perjalanan rombongan dari Gilimanuk menuju Singaraja, diwarnai berbagai peristiwa gaib. Di mana di sepanjang perjalanan beberapa rombongan kerauhan, terutama saat rombongan melintas di depan Pura Agung Pulaki, dan Pura Labuhan Aji.

Sesampainya di Singaraja, rombongan menuju Pura Jagat Nata. Setelah istirahat sejenak, kemudian dengan pengawalan cukup ketat pula, Gusti Bagus Latria bersama rombongan melanjutkan perjalanan menuju GWK ngelinggihang pretima Indraswari dan Dewi Kwan Im. Sementara, pretima Ganesha dan Budha di linggihkan di lantai 3 Rumah Sakit Karya Dharma Usadha, Buleleng.

Berselang 19 hari kemudian, Bupati Buleleng Drs. Putu Bagiada M.M, meminta untuk sementara sebelum mendapat tempat, agar pretima tersebut dilinggihkan di Museum Buleleng.

Pretima tersebut sempat nyejer selama 6 bulan. Kemudian karena sesuatu dan lain hal, pretima dipindahkan ke Desa Pakraman Kalibukbuk, tepatnya di kawasan Hotel Melka, Lovina, Buleleng.

Di tempat tersebut sempat dibuatkan palinggih, dan Gusti Latria sempat menyumbang material berupa batu untum membuat panyengker. Sangat disayangkan, pretima tidak bertahan lama, sebab lagi-lagi didera berbagai masalah. Masalah tersebut di samping tidak ada yang mengurus, juga pemilik Hotel Melka yang berkewarganegaraan Asing, rupanya tidak menghendaki pretima itu malinggih di sana.

Selanjutnya pada tanggal (6/2) 2008, Badan Otorita Majapahit Buleleng yang terdiri dari 7 yayasan, mengadakan paruman (rapat-red) dan memutuskan untuk melinggihkan pretima tersebut di Jl. Letda Putra tepatnya di lingkungan Bantang Banua, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Tetapi, lagi-lagi ada konflik internal di Badan Otorita Majapahit Buleleng.

Di mana tidak adanya kesepakatan di antara pengurus. Akhirnya pada tanggal (9/3) 2008, Badan Otorita tersebut dibubarkan. Sementara I Gusti Bagus Ketut Latria, dengan dukungan Hyang Suryo Wilatikta, penglingsir Puri Surya Majaphit Pusat, (Trowulan) dan Presiden WHYO DR. Shri I Gst Ngrh Arya Vedakarna M Wedasteraputra Suyasa, S.E, M.Si, memutuskan jalan terus mengemban tugas suci tersebut serta melanjutkan mendirikan Puri Surya Majaphit.

Karena tempat yang telah ada dirasa kurang memadai, akhirnya Gusti Latria memutuskan untuk membebaskan tanah di sebelahnya dengan luas kurang lebih 2,4 are. Sehingga luas keseluruhan lokasi puri tersebut menjadi 5,4 are.

Bangunan yang berhasil didirikan di antaranya di jeroan berupa candi tingkat sembilan dilengkapi penangkal petir, gedong, padmasana lengkap, palinggih taksu. sedangkan di Madya Mandala terdapat palinggih Ganesha dan bangunan pelengkap lainnya. Bangunan yang menghabiskan ratusan juta itu kondisinya cukup megah.

”Walupun tanpa dibantu teman-teman lain, hanya didukung dana seadanya, didasarkan penuh keyakinan tiang jalan terus mewujudkan tempat suci tersebut,” jelas Gusti Latria dengan yakinnya.

Setelah tanggal 19 Juni, pretima tersebut rawuh (datang) langsung dibawa oleh Presiden WHYO DR. Shri I Gst Ngrh Arya Vedakarna M Wedasteraputra Suyasa, S.E, M.Si. Saat itu langsung dilaksanakan serah terima dengan menandatangani surat pernyataan penyerahan demi memperkuat pretima tersebut.

Sebelum tempat suci selesai dibangun, untuk sementara pretima dilinggihkan di salah satu bangunan yang telah dibeli sejak 17 tahun silam dan jarang ditempati. Semenjak puri ini dibangun hampir tak pernah sepi pamedek. Tak sebatas umat Hindu saja yang ngaturang bakti , melainkan umat lain seperti Islam, Budha, dan Kristen, dengan cara dan keyakinannya masing-masing. Itu artinya, Ida Sasuhunan ingin mempersatukan keturunannya.

Petunjuk Gaib Munculnya Tirta Pasupati

Proses pembangunan Puri Surya Majapahit terus diwarnai berbagai peristiwa gaib yang sulit diterima akal sehat. Dengan munculnya Tirta Pasupati diawali berbagai petunjuk gaib lewat pawisik yang diterima keluarga I Gusti Bagus Latria.

Tirta Pasupati muncul pada saat ia melakukan penggalian tanah untuk dasar candi. Pada kedalaman 2,5 meter, tiba-tiba muncul mata air, walaupun debit airnya tidak terlalu besar. Sontak saja buruh yang menggali tanah itu kaget dan ketakutan.

Di samping itu di dalam tanah yang digali terdapat sebuah gua, dengan kondisi lubangnya sangat halus seperti keramik. Malamnya, salah satu keponakan Gusti Latria mendapat petunjuk melalui pawisik, yang intinya agar I Gusti Bagus Latria memperhatikan tirta tersebut. Tak hanya itu Gusti Bagus Latria juga menerima petunjuk, tirta tersebut merupakan tirta pasupati yang berfungsi sebagai pemahayu jagat.

Selanjutnya I Gusti Latria penasaran ingin mengetahui arti dan makna apa sebenarnya kata Pasupati tersebut. Besoknya, secara kebetulan dia menemukan di salah satu media, mengulas tentang arti kata pasupati. Menurutnya, Pasupati itu berarti ‘Saat manunggalnya Dewa Brahma, Wisnu, dan Iswara’.

Hindu mengenal aksara suci Ang, Ung, dan Mang. Selanjutnya menjadi aksara suci AUM, kemudian menjadi OM. Kata OM itulah sebenarnya Pasupati tersebut. Sebagai pemahayu jagat (penentram dan penyejuk alam beserta isinya), menurut Gusti Latria, bagi mereka yang mendapat siratan tirta ini diyakini akan mendapat anugerah keselamatan, perlindungan, ketenangan, dan kedamaian serta terhindar dari bencana alam.

Tiang berharap, dengan munculnya tirta ini, masyarakat Bali dan Buleleng khususnya menjadi sejuk, aman, dan tentram. Sedikit demi sedikit image Bumi Panji Sakti Buleleng yang dikenal berkarakter keras dan panas ini dapat dikikis,” ujar ayah empat orang putra ini ketika ditemui di Puri Surya Majapahit baru-baru ini.

Gusti Latria menyadari, untuk membuat sesuatu yang baik tidak semudah membalikkan tangan, melainkan harus siap dan berani menghadapi berbagai tantangan dan cobaan, baik sekala-maupun niskala. Selama orang tersebut berjalan di atas rel kebenaran pasti akan menemukan jalan yang terbaik.