Stana Ida Ratu Mas Ayu Agung Sakti /Biyang Géléh
Walaupun tidak ada Purana namun Mangku Pasti yang merupakan pemangku pura menuturkan “Dari Kakek buyut tiyang sudah menjadi pengayah di Pohon Camplung itu dulunya belum berbentuk Pura yang kebetulan tumbuh di tegalan tiyang”, ungkap Pemangku 66 tahun ini. Entah bagaimana awalnya para Nelayan sebelum pergi melaut selalu tangkil ngaturang Bhakti di Pohon Camplung itu, demikian pula Sekehe Semal sebelum melaksanakan perburuan Semal, semua tangkil ngaturang bhakti agar diberikan keselamatan dan hasil yang memuaskan.
Diungkapkan oleh pemangku yang juga dikenal dengan nama Wayan Renes, pada hari-hari tertentu ada seorang nenek tua dair luar banjarnya, menebarkan dedakdan sambil berucap “Ngih Ratu Biyang Géléh niki sampun titiang ngaturin ancangan I Ratu oot” kemudian ia mebhakti di Pohon Camplung. Pohon Camplung tersebut lama kelamaan setiap ada suatu kegiatan upacara di Banjarnya banyak orang Ngaturang Piuning ke Pohon Camplung, nunas Tirtha, agar Upacaranya Selamat.
“Sekitar tahun 1974, semasih orang tua tiyang ngaturang ayah (ngemangkunin-red), seperti mimpi didatangi oleh perempuan berperawakan tinggi besar dan gemuk, berambut putih panjang terurai (megambahan), mekamben dengan dada telanjang sehingga susunya kelihatan besar menggelayut, minta agar dibuatkan bangunan Pura. Berdasarkan mimpi, kemudian tiyang buatkan sebuah palinggih,” jelas Mangku Pasti.
Anehnya setelah bangunan Pura selesai diplesapas, pohon Camplung itu meranggas, daun serta dahan-dahannya yang besar mengering dan berguguran satu persatu. Tetapi jatuhnya pohon Camplung itu tidak mengenai bangunan Pura yang tepat berada dibawahnya, dahan-dahannya terlempar jauh. Banyak masyarakat sekitarnya yang memungut dahan-dahan yang kering akan dijadikan kayu bakar, namun apa yang terjadi. Mereka yang memungut keesokan harinya kembali ke pohon camplung mengembalikan kayu yang mereka ambil.
Menurut keterangan dari yang memungut, malamnya saat tidur mimpi dicari oleh Perempuan bertubuh tinggi besar meminta kayu yang dipungut tadinya. Demikian juga jika di Banjarnya atau di Br. Belalang akan melaksanakan Upacara Ngeréh (Msupati Ratu Mas / yang akan nyungsung), sebelum upacara dimulai selalu rauh nangkil matur piuning, ngaturang bhakti selanjutnya mengelilingi pohon Camplung sebanyak tiga kali untuk diberikan kerahayuan, terhindar dari gangguan Sekala Niskala.
Berdasarkan keyakinan yang ada, bagi pamedek yang datang dan nunas
Sampai sekarang jika masyarakat Br. Kedungu atau Balalang kehilangan Sapi atau Babi, setelah nangkil dan Ngaturang Bhakti di Pura Batan Camplung, banyak yang terbukti berhasil, Sapi atau Babinya dapat diketemukan lagi. Sarana aturan yang dibawa yaitu Canang meraka, Peras Pejati, Tipat Galeng Hitam (dari injin), dengan segehan selem. Pernah kejadian seorang bhakta Ngaturang Penauran/Sesaudan (Aturan jika sudah permohonan terbukti berhasil), lupa membawa segehan Selem, lalu nasi bungkus yang dibeli diwarung dipakai Segehan, begitu selesai ngaturang, langsung orang tersebut Ngetaktak meguyang di hadapan pelinggih, setelah pemangku mengganti dengan segehan selem, baru orang tersebut sembuh/sadar, dan menceritrakan tadi badannya ditarik/diputar oleh orang tinggi besar.Budikrista & Sadnyari