Berdasarkan pawisik yang diterima salah satu warga. Kemudian menyulap turus lumbung reot tersebut menjadi pura yang cukup megah. Di pura ini terdapat mata air yang diyakini mengandung kekuatan magis untuk berbagai keperluan. Mulai untuk tirta hingga sarana obat. Di samping itu, banyak karma dari berbagai daerah permohonannya dikabulkan.
Tidak ada kata tak mungkin, jika Beliau sudah menghendaki. Sesuatu yang dianggap mustahil bisa menjadi kenyataan. Demikian juga terwujudnya Pura Taman Yeh Obat yang berlokasi di Lingkungan Bhuana Sari, RT 01, Kelurahan Penarukan, Buleleng, tepatnya di Jl. Pulau Samosir II, Singaraja. Pura ini berjarak kurang lebih 5 kil, arah timur dari pusat Kota Singaraja.
Daerah ini terkenal dengan nama Yeh Taluh. Pasalnya, konon di tempat ini terdapat sumber air berwarna, berbau serta rasa airnya seperti putih telur. Air tersebut diyakini mengandung kekuatan magis multifungsi. Diantaranya untuk pengobatan, panglukatan, dan fungsi lainnya. Di samping itu, di sepanjang aliran sungai ini dikenal sangat angker, sebab di sepanjang aliran sungai dari hulu hingga hilir diyakini dihuni berbagai makhluk gaib.
Wajar jika tempat ini memiliki aura magis cukup kuat. Sehingga, tak sembarang orang berani datang ke tempat ini, terutama pada hari dan waktu-waktu tertentu. Konon sumber air berkasiat tersebut terdapat di bawah pohon Ea yang berada tak jauh dari lokasi pura sekarang. Karena tempat tersebut cemer (kotor), Ida Bhatara berpindah-pindah tempat, namun tak ada yang cocok sebagai linggihnya.
Begitu mendapat informasi tentang keberadaan pura ini, tim TBA langsung memburu lokasi pura, guna mengetahui langsung misteri dan proses terwujudnya pura ini.
Setelah bertanya kepada salah satu warga, akhirnya tim TBA disarankan mencari Jro Mangku Ketut Kesiar, Jan Banggul yang tinggal di Jl. Pulau Samosir IV No.6. Singaraja. Setelah mengetahui maksud dan tujuan kedatangan TBA, selanjutnya Jro Mangku menggiring ke ruang tamu di depan rumahnya berukuran 3x2 meter, dengan kondisi bersih dan sejuk.
“Sebelumnya tiang tidak berpikir ngiring menjadi jan banggul (pemangku) karena tiang jadma belog dan tak pernah belajar kepemangkuan. Maklum basic tiang sebagai TNI AD dan bertugas di bagian perhubungan,” katanya mengawali ceritanya.
Lanjut Jro Mangku, pura ini terwujud melalui pawisik yang diterima sebelumnya. Lokasi Pura Taman Yeh Obat ini, dulunya merupakan tanah timbul dan digunakan tempat pembuangan sampah serta masih berupa semak. Sehingga, sedikit orang berani datang ke tempat ini. Di pojok selatan terdapat turus lumbung dengan kondisi memprihatinkan.
Hanya saja, hingga kini si pembuat turus lumbung tersebut masih misteri. Oleh Jro Mangku dan warga lainnya, biasanya turus lumbung ini digunakan sebagai tempat ngaturang canang saat rerahinan. Pada suatu hari, tepatnya saat penampahan Galungan, ketika Jro Mangku bermaksud maturan canang, mendadak tulus lumbung tersebut macelos (roboh), karena memang kondisinya sudah rapuh dimakan usia. Akhirnya, terpaksa Jro Mangku mengikat dengan sarana seadanya agar bisa digunakan.
Merasa prihatin, kemudian Jro Mangku bersama beberapa orang warga memperbaiki turus lumbung tersebut dengan bahan yang lebih bagus. Berselang satu minggunya, lagi-lagi seperti ada kekuatan magis mengetuk hatinya, dan tercetus ide, untuk mengganti tulus lumbung tersebut dengan palinggih Padma Cetakan. Kebetulan di Lingkungan Bhuana Sari ada sebuah sekaa suka duka bernama Dharma Yadnya yang beranggotakan 42 KK.
Selanjutnya pada saat rapat, Jro Mangku mengutarakan keinginan dan niat sucinya tersebut kepada anggota sekaa. Mungkin sudah kehendak Ida Bhatara, semua anggota sekaa secara spontanitas menyetujui keinginan Jro Mangku mendirikan Padma lebih besar. Selanutnya warga yang terdiri dari 84 KK, berhasil mendirikan Padma berukuran 4x5 dengan tinggi 2,7 meter.
Setiap KK dikenakan iuran wajib sebesar sepuluh ribu. Proses pembangunan dilakukan murni dengan swadaya. Keinginan warga memiliki tempat suci sangat tinggi. Semua warga tanpa terkecuali bahu-membahu bergotong royong mewujudkan pura tersebut. “Saat itu persatuan warga sangat terlihat, semua warga tanpa membedakan latar belakang perbedaan status ekonomi, ras, dan agama, semuanya bersatu mewujudkan pura dengan segala kemampuan,” ujar pria kelahiran Denpasar tahun 1940 ini dengan nada datar.
Tirta Pingit Dijaga Naga Putih